Pages

Blogger news

Anak Saya, Sepeda, dan Mbak Berbaju Hitam

Tengah siang tadi, ketika saya sedang ngobrol dengan salah seorang teman, masuk sms dari istri saya yang memberitahukan bahwa anak kami mendadak mahir naik sepeda. Sepeda roda dua.

Saya kaget, senang, sekaligus menyesal.

Kaget karena sebelumnya, saya menilai anak saya terlalu penakut ketika belajar mengendalikan sepeda. Ia memang meminta saya mencopot dua roda kecil pengaman di kanan kiri sepeda. Tapi dibanding bermain dengan mainan-mainannya yang lain, frekuensinya belajar sepeda sangat jarang. Dan ketika saya menemaninya belajar sepeda ia terlalu sering berteriak-teriak minta dipegangi. Tak jarang saya jengkel dan berprasangka ia akan telat naik sepeda.

Saya menyesal karena tak dapat menemaninya melalui detik-detik penting pencapaiannya tersebut. Karena kebetulan saya sedang berada di rumah orang tua saya sedangkan anak dan istri saya di rumah ibu mertua saya. Saya juga menyesal karena terlalu ceroboh menilainya penakut.

Sepulangnya sang teman, saya segera ke pasar, demi berbelanja sayur-mayur dan hadiah kecil untuk anak saya. Buah kesukaannya ketika bukan musimnya mangga: anggur. Di hari-hari lain, biasanya saya atau istri saya hanya membelikannya seperempat kilo. Kali ini saya beli setengah kilo. Demi peristiwa besar dalam keluarga kecil kami.

Tuntas urusan pasar, motor saya gelindingkan menuju rumah ibu mertua saya.
***
Dan benar, di bagian barat rumah ibu mertua saya, yakni rumah joglo yang cukup untuk satu lapangan badminton itu, anak saya memang lancar mengendalikan kendaraan pertamanya tersebut. Ia mengayuh pedal, berbelok, berputar-putar mengelilingi tiang-tiang  joglo, sambil tengak-tengok bangga ke arah saya dan berteriak-teriak girang. Mahir. Seperti bocah 6 tahun yang sudah selama setahun menaklukkan sepeda.

Sampai malam ia bersepeda. Hanya berjeda mandi sore dan mengejar mbak berbaju hitam. Tanpa tidur siang.
***
Menjelang maghrib mendadak anak saya menghentikan sepedanya. Meminta saya mengikutinya. Saya manut, mengekor. Kaki-kaki mungilnya tergopoh-gopoh menuju gudang, yang berada di bagian timur-belakang rumah. Gudang itu membentuk huruf L, dari utara ke selatan lalu menuju barat.

Di muka pintu gudang anak saya berhenti, meminta saya membukakan pintu. Saya menurutinya, penasaran maunya.
Begitu pintu terbuka, anak saya menunjuk sudut utara gudang sambil berkata bahwa ada mbak berbaju hitam. Tak ada siapa-siapa di sana. Kosong. Masih kata anak saya, mbak baju hitam kemudian berjalan ke arah selatan gudang dan berhenti. Anak saya diam, khusyuk memandangi arah selatan. Tak lama ia lantas mengajak saya keluar. Pintu tak boleh ditutup. Kira-kira 5 langkah anak saya berhenti, balik lagi ke arah pintu. Diam lagi, memandang titik yang tadi. Ia berkata bahwa mbak baju hitam meminta kami keluar. Mbak baju hitam sedang tak mau diganggu.

Meski belum pernah memasukinya, tetapi saya tahu benar bahwa di bagian barat gudang tadi ada kamar tempat menyimpan benda-benda yang konon keramat milik almarhum bapak mertua saya yang memang penganut Islam abangan.

Barangkali mbak baju hitam tadi ada hubungannya dengan benda-benda tersebut atau hanya lelembut yang sedang lewat. Barangkali juga bukan. Mungkin itu hanya permainan peran dunia kanak-kanak anak saya. Atau mungkin juga itu hanya halusinasinya karena ia terlalu lelah bersepeda dan tidak tidur siang sebagaimana biasanya. Saya di wilayah abu-abu dalam hal semacam itu. Ada atau tidak ada, tidak penting bagi saya. Percaya sekaligus tidak percaya.

Tetapi saya percaya benar bahwa kelak anak saya akan berkali-kali melampaui pencapaian-pencapaian saya. Sampai sekarang, setidaknya ia sudah 3 kali melakukannya. Ia lebih gasik berbicara dan berjalan dibanding saya dulu. Dan yang kali ke-3 ini adalah soal menaklukkan sepeda. Saya di usia 6 tahun, di liburan panjang selepas lulus TK dulu. Sedangkan dia di usia 3,5 tahun.
READ MORE - Anak Saya, Sepeda, dan Mbak Berbaju Hitam

Agar Sebelum Mati, Kita Masih Sempat Menonton Timnas Sepakbola Indonesia Bertarung di Piala Dunia

Menilai sepakbola Indonesia bukan perkara sulit. Tak perlu njlimet-njlimet buka statuta FIFA dan PSSI. Kalau masih ada kabar pemain atau pelatih belum digaji (hingga terpaksa ngamen atau bahkan meninggal dunia karena tak kuat membayar biaya berobat), wasit dipukuli,  politisasi, tawuran antar pemain atau suporter, suap dan mafia judi dan sepakbola gajah, timnas yang kalahan, klub yang punya kembaran, pasti sepakbola Indonesia masih berjalan ngawur. Pasti.

Saya pernah menjadi penonton setia Liga Indonesia. Dulu, saya berpendapat bahwa jika bukan kita yang menonton siapa lagi?  Tetapi setelah saya mendengar kabar-kabar buruk tentang sepakbola baik lewat media maupun mendengar langsung dari para pemain (kebetulan kampung saya berimpitan dengan sebuah pusdiklat sepakbola jadi kami sering mendengar kabar dari mulut alumni pusdiklat tersebut), terutama tentang suap dan match fixing, saya kemudian emoh menonton. Tak sudi. Itu sudah bukan sepakbola. Sebab kemenangan dan kekalahan tak lagi ditentukan di atas lapangan, melainkan oleh slintat-slintut amplop, koneksi dengan petinggi, dan telepon-telepon gelap bandar judi.


Dan itu berlangsung bertahun-tahun, seolah itu semua memang sudah kutukan yang tak bisa dibantah. Berganti pemerintahan, berganti pengurus PSSI, berganti Menpora, berganti generasi pemain, kabar-kabar miring tersebut tak pernah berhenti.

Baru kemudian di pemerintahan Jokowi, melalui Menpora Imam Nahrawi aroma perubahan mulai sedikit menguar. Lumayan ngitik-ngitik hidung. Sepakbola Indonesia masih ada harapan. 

Menpora memulai dengan memasang syarat-syarat yang sesungguhnya tak begitu kencang bagi peserta kompetisi profesional. Syarat-syarat yang sesungguhnya juga diwajibkan AFC, FIFA, dan PSSI. Syarat-syarat yang selama ini dikangkangi, baik oleh klub peserta kompetisi maupun oleh PSSI sendiri.

Tetapi masih saja ada yang tak sanggup memenuhi syarat-syarat tersebut. Dan bukan hal baru jika kemudian PSSI membela klub-klub itu.

Cerita detilnya bisa anda runut di media. Saya malas menuliskannya kembali. Intinya, sebagaimana biasa PSSI ngeyel dan melakukan berbagai macam manuver. Barangkali Menpora jengkel, sebab negara sudah tak dianggap oleh PSSI. Dan akhirnya PSSI dibekukan.

Bukan PSSI namanya jika lantas manut. Manuver terus digencarkan, paling baru mereka menghentikan kompetisi dengan alasan dibuat-buat lalu membuat kesan bahwa itu karena pemerintah. Penggerakan massa yang dibodohi (atau juga dibayar?). Penggalangan opini. Ancaman-ancaman.

Ancaman itu di antaranya adalah dengan dihentikannya kompetisi, maka akan ada ribuan orang yang hidup dari sepakbola akan nganggur. Pemain, pelatih, tukang pijat, tukang cabut rumput stadion, calo karcis, para penjual kaos akan kelaparan.

Ancaman yang lain dan yang paling sering diembuskan adalah bila pemerintah mengintervensi PSSI maka sepakbola Indonesia akan dihukum FIFA. Sepakbola Indonesia tak akan dapat bermain di pertandingan-pertandingan internasional.

Lha terus kenapa?

Perihal kemungkinan menganggurnya orang-orang yang hidup dari sepakbola. Pertama, bukankah yang menghentikan kompetisi adalah PSSI sendiri? Bukankah PSSI sendiri yang selama ini membiarkan kompetisi berjalan buruk hingga pemain dan pelatih tidak digaji? Bukankah sesungguhnya pemain dan pelatih adalah pemegang posisi tawar paling tinggi dalam urusan ini? Suruh dong PSSI kerja benar lalu memulai lagi kompetisi. Kedua, jika PSSI ngeyel lagi tak mau memutar kompetisi, ya ajak dong Menpora membuat kompetisi baru. Kompetisi yang lebih sehat, jelas aturan mainnya, transparan keuangannya, dan dikelola oleh operator yang benar-benar andal. Dan kalau perlu bikin federasi baru. Tinggalkan PSSI yang ngeyelan dan seenaknya sendiri itu.

Sepakbola Indonesia tak dapat bermain di kancah internasional tak masalah. Apakah timnas Indonesia adalah juara Asia 5 kali dan juara Piala Dunia 3 kali? Apakah klub-klub Indonesia bergiliran menjuarai Piala Champion Asia? Lha tidak kan? Lalu, apa ruginya?

Sanksi FIFA juga bukan hal yang nggegirisi. Indonesia, dengan jumlah penduduknya yang gemar nendang dan nonton sepakbola, yang besar tentu merupakan pasar yang menggiurkan bagi industri sepakbola dunia. FIFA tentu akan mikir 157 kali putaran bumi jika hendak menghukum Indonesia. Dan kalaupun benar-benar dihukum, kalau kita mampu menjalankan federasi dan kompetisi yang benar-benar sehat, pasti FIFA akan bribik-bribik mengajak kita balikan. Percayalah.

Dan jika sepakbola Indonesia diurus oleh federasi waras yang memiliki kompetisi yang sehat pasti akan menghasilkan timnas yang tangguh, yang hanya dalam hitungan puluhan tahun akan mampu menembus Piala Dunia. Sebaliknya jika masih diurus oleh federasi semacam PSSI yang sekarang ini, maka akan membutuhkan waktu berabad-abad untuk hadir di Piala Dunia. Itupun karena ketika itu, penduduk di dunia ini sudah bosan dengan sepakbola, kecuali Indonesia dan Djibouti. Akhirnya Piala Dunia hanya diikuti oleh dua negara: Indonesia dan Djibouti. Langsung final. Apesnya kita masih kalah, 4-0.

Untuk menyaksikan peristiwa langka itu tentu kita membutuhkan keajaiban. Mengingat harapan hidup orang Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan tahun 2014 hanyalah 72 tahun. Bukan 5 abad. Maka satu-satunya jalan agar sebelum mati kita masih sempat menonton timnas Indonesia bertarung di Piala Dunia hanyalah dengan federasi yang waras dan kompetisi yang sehat. Hanya itu.
READ MORE - Agar Sebelum Mati, Kita Masih Sempat Menonton Timnas Sepakbola Indonesia Bertarung di Piala Dunia

Bapak dan Televisi

Dulu, ketika televisi swasta hanya bisa dilihat lewat antena parabola, bapak menolak keras saat saya dan adik saya merengek agar rumah kami menyalur parabola milik tetangga jauh kami. Alasannya, bapak tak mau kami lupa belajar karena kebanyakan nonton tayangan di televisi. Tayangan-tayangan yang konon juga bisa merusak moral kami.

Lalu, ketika stasiun televisi swasta mulai nyantol di antena UHF dan antena UHF dapat dibeli murah di toko-toko elektronik, bapak tetap bersikeras tak mau memasangnya di rumah. Alasannya masih sama mengganggu belajar dan bahkan bisa merusak moral kami.

Maka selama berbulan-bulan televisi di rumah kami hanya dicantoli satu buah tayangan televisi: dari TVRI. Selama itu pula saya dan adik saya hanya kemecer mendengar cerita teman-teman kami soal si manusia cerdik dan beruntung Mac Gyver atau mobil ajaib Knight Rider.

Sampai akhirnya ibu saya nekad membeli antena UHF dan mengundang tukang pasang antena. Barangkali ibu saya tak tega anak-anaknya saban sore merengek soal tayangan televisi swasta. Atau ibu juga kepengin menonton tayangan-tayangan televisi swasta yang ia dengar dari kawan-kawannya di pasar, saya tidak tahu. Yang jelas, saya dan adik saya dapat menonton film-film yang kami idam-idamkan. Masalah selesai, pikir saya waktu itu.

Tentu saja, setelah rumah kami terpasang siaran stasiun televisi swasta, bapak tak lantas menonton tayangan-tayangan dari stasiun televisi tersebut. Bapak hanya kadang-kadang saja menonton televisi. Di waktu senggangnya ia lebih banyak menukang, bertani di belakang rumah, atau membaca buku-buku yang pengarangnya baru saya kenal ketika saya sudah mulai dewasa. Termasuk buku-buku yang diharamkan penguasa saat itu, orde baru. Dan kalaupun menonton televisi, hanyalah acara-acara di TVRI, itupun sebatas ketoprak, wayang, sepakbola,  dan berita. Di kepala saya, ada satu kata yang saya anggap mewakili bapak: kuno. 

Memiliki bapak kuno tentu saja saya tak pernah berharap diajak bapak ke bioskop untuk menonton Saur Sepuh ataupun Rambo. Tak mungkin pula bapak pulang kerja sembari menyangking komik untuk saya. Dan tentu tak bakal ada Sega atau Nitendo. Diam-diam saya iri kepada teman-teman yang memiliki bapak yang lebih modern. Diam-diam pula saya merasa dendam kepada bapak.

Di sisi lain, saya memendam rasa kagum kepada bapak. Rasa kagum yang kian saya dewasa kian menguat mengikis rasa dendam tadi. Bapak selalu menukang batu atau kayu dengan hasil yang bagus dan rapi. Bapak menanam sendiri tetumbuhan yang hasilnya kami nikmati. Bapak dapat memperbaiki sendiri mesin diesel pabrik tahu kami. Bapak membaca buku-buku yang isinya tak saya pahami hingga kini. Bapak juga berani nyemplung sumur demi mengambil kucing yang terjun bebas ke dalamnya. Bapak selalu berbuat jujur sekalipun diiming-imingi uang sogokan seplastik besar di saat keluarga kami sesungguhnya hidup sangat pas-pasan. 

Tetapi satu-dua tahun belakangan bapak berubah. Bapak memang masih bertani, tapi tak seperti dulu. Sekarang jarang sekali. Bapak juga masih membaca buku, tapi setahu saya tak pernah habis sampai halaman terakhir. 

Bapak kini lebih banyak menonton televisi. Tayangan apapun bapak tonton. Dari joget-joget sampai sinetron. Dari kuis hingga gosip artis. Dari FTV sampai iklan panjang pengobatan alternatif yang konon manjur untuk ribuan jenis penyakit atapun iklan benda-benda impor di stasiun televisi yang kekurangan acara. Dan itu dilakukan bapak nyaris setiap waktu.

Saya sempat jengkel dengan aktivitasnya tersebut. Kadang saking jengkelnya, saya berkomentar nyinyir terhadap acara televisi yang sedang bapak tonton. Saya juga pernah nggerundel kepada istri dan beberapa kawan dekat saya, bahwa saya merasa kehilangan bapak yang saya kagumi. "Bapakku wis ora cerdas," demikian gerundelan saya kepada mereka. 

Namun belakangan saya menyesal pernah berkata demikian. Barangkali, di usianya yang menua, bapak sudah malas berpikir dan beraktivitas berat. Barangkali televisi memang kawan yang setia di masa pensiunnya. Barangkali sekarang hanya televisilah yang sanggup membuatnya merasa bahagia. Dan toh acara televisi yang pernah saya anggap mutu, berita misalnya, tak lain juga drama. Tak lebih baik dibanding gosip artis dan sinetron.

Karenanya saya sekarang membiarkan bapak klekaran sembari menonton Tukang Bubur Naik Haji. Membiarkan bapak tersihir oleh pendar-pendar cahaya dari kotak bernama televisi. Dan berharap semoga bapak selalu bahagia hingga memiliki tubuh sehat dan berumur panjang. Sekalipun itu didapatnya dari benda yang kini tak begitu saya sukai: televisi.
READ MORE - Bapak dan Televisi

Blogroll

Blogger templates

 

Most Reading

Diberdayakan oleh Blogger.