Pages

Blogger news

Agar Sebelum Mati, Kita Masih Sempat Menonton Timnas Sepakbola Indonesia Bertarung di Piala Dunia

Menilai sepakbola Indonesia bukan perkara sulit. Tak perlu njlimet-njlimet buka statuta FIFA dan PSSI. Kalau masih ada kabar pemain atau pelatih belum digaji (hingga terpaksa ngamen atau bahkan meninggal dunia karena tak kuat membayar biaya berobat), wasit dipukuli,  politisasi, tawuran antar pemain atau suporter, suap dan mafia judi dan sepakbola gajah, timnas yang kalahan, klub yang punya kembaran, pasti sepakbola Indonesia masih berjalan ngawur. Pasti.

Saya pernah menjadi penonton setia Liga Indonesia. Dulu, saya berpendapat bahwa jika bukan kita yang menonton siapa lagi?  Tetapi setelah saya mendengar kabar-kabar buruk tentang sepakbola baik lewat media maupun mendengar langsung dari para pemain (kebetulan kampung saya berimpitan dengan sebuah pusdiklat sepakbola jadi kami sering mendengar kabar dari mulut alumni pusdiklat tersebut), terutama tentang suap dan match fixing, saya kemudian emoh menonton. Tak sudi. Itu sudah bukan sepakbola. Sebab kemenangan dan kekalahan tak lagi ditentukan di atas lapangan, melainkan oleh slintat-slintut amplop, koneksi dengan petinggi, dan telepon-telepon gelap bandar judi.


Dan itu berlangsung bertahun-tahun, seolah itu semua memang sudah kutukan yang tak bisa dibantah. Berganti pemerintahan, berganti pengurus PSSI, berganti Menpora, berganti generasi pemain, kabar-kabar miring tersebut tak pernah berhenti.

Baru kemudian di pemerintahan Jokowi, melalui Menpora Imam Nahrawi aroma perubahan mulai sedikit menguar. Lumayan ngitik-ngitik hidung. Sepakbola Indonesia masih ada harapan. 

Menpora memulai dengan memasang syarat-syarat yang sesungguhnya tak begitu kencang bagi peserta kompetisi profesional. Syarat-syarat yang sesungguhnya juga diwajibkan AFC, FIFA, dan PSSI. Syarat-syarat yang selama ini dikangkangi, baik oleh klub peserta kompetisi maupun oleh PSSI sendiri.

Tetapi masih saja ada yang tak sanggup memenuhi syarat-syarat tersebut. Dan bukan hal baru jika kemudian PSSI membela klub-klub itu.

Cerita detilnya bisa anda runut di media. Saya malas menuliskannya kembali. Intinya, sebagaimana biasa PSSI ngeyel dan melakukan berbagai macam manuver. Barangkali Menpora jengkel, sebab negara sudah tak dianggap oleh PSSI. Dan akhirnya PSSI dibekukan.

Bukan PSSI namanya jika lantas manut. Manuver terus digencarkan, paling baru mereka menghentikan kompetisi dengan alasan dibuat-buat lalu membuat kesan bahwa itu karena pemerintah. Penggerakan massa yang dibodohi (atau juga dibayar?). Penggalangan opini. Ancaman-ancaman.

Ancaman itu di antaranya adalah dengan dihentikannya kompetisi, maka akan ada ribuan orang yang hidup dari sepakbola akan nganggur. Pemain, pelatih, tukang pijat, tukang cabut rumput stadion, calo karcis, para penjual kaos akan kelaparan.

Ancaman yang lain dan yang paling sering diembuskan adalah bila pemerintah mengintervensi PSSI maka sepakbola Indonesia akan dihukum FIFA. Sepakbola Indonesia tak akan dapat bermain di pertandingan-pertandingan internasional.

Lha terus kenapa?

Perihal kemungkinan menganggurnya orang-orang yang hidup dari sepakbola. Pertama, bukankah yang menghentikan kompetisi adalah PSSI sendiri? Bukankah PSSI sendiri yang selama ini membiarkan kompetisi berjalan buruk hingga pemain dan pelatih tidak digaji? Bukankah sesungguhnya pemain dan pelatih adalah pemegang posisi tawar paling tinggi dalam urusan ini? Suruh dong PSSI kerja benar lalu memulai lagi kompetisi. Kedua, jika PSSI ngeyel lagi tak mau memutar kompetisi, ya ajak dong Menpora membuat kompetisi baru. Kompetisi yang lebih sehat, jelas aturan mainnya, transparan keuangannya, dan dikelola oleh operator yang benar-benar andal. Dan kalau perlu bikin federasi baru. Tinggalkan PSSI yang ngeyelan dan seenaknya sendiri itu.

Sepakbola Indonesia tak dapat bermain di kancah internasional tak masalah. Apakah timnas Indonesia adalah juara Asia 5 kali dan juara Piala Dunia 3 kali? Apakah klub-klub Indonesia bergiliran menjuarai Piala Champion Asia? Lha tidak kan? Lalu, apa ruginya?

Sanksi FIFA juga bukan hal yang nggegirisi. Indonesia, dengan jumlah penduduknya yang gemar nendang dan nonton sepakbola, yang besar tentu merupakan pasar yang menggiurkan bagi industri sepakbola dunia. FIFA tentu akan mikir 157 kali putaran bumi jika hendak menghukum Indonesia. Dan kalaupun benar-benar dihukum, kalau kita mampu menjalankan federasi dan kompetisi yang benar-benar sehat, pasti FIFA akan bribik-bribik mengajak kita balikan. Percayalah.

Dan jika sepakbola Indonesia diurus oleh federasi waras yang memiliki kompetisi yang sehat pasti akan menghasilkan timnas yang tangguh, yang hanya dalam hitungan puluhan tahun akan mampu menembus Piala Dunia. Sebaliknya jika masih diurus oleh federasi semacam PSSI yang sekarang ini, maka akan membutuhkan waktu berabad-abad untuk hadir di Piala Dunia. Itupun karena ketika itu, penduduk di dunia ini sudah bosan dengan sepakbola, kecuali Indonesia dan Djibouti. Akhirnya Piala Dunia hanya diikuti oleh dua negara: Indonesia dan Djibouti. Langsung final. Apesnya kita masih kalah, 4-0.

Untuk menyaksikan peristiwa langka itu tentu kita membutuhkan keajaiban. Mengingat harapan hidup orang Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan tahun 2014 hanyalah 72 tahun. Bukan 5 abad. Maka satu-satunya jalan agar sebelum mati kita masih sempat menonton timnas Indonesia bertarung di Piala Dunia hanyalah dengan federasi yang waras dan kompetisi yang sehat. Hanya itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogroll

Blogger templates

 

Most Reading

Diberdayakan oleh Blogger.