Pages

Blogger news

Badai Itu

Pagi tadi kau bangun gasik sekali, Bu. Sama seperti setahun yang lalu. Bedanya, pagi tadi kau menyiapi bekal untuk kita pergi berenang. Sedangkan setahun lalu, bekal kita untuk operasimu.

Siang tadi pipiku basah. Setahun yang lalu pun demikian. Bedanya, siang tadi oleh air segar kolam renang. Sedangkan setahun lalu oleh air mataku. Ya, Bu, aku menangis. Berkali-kali malah. Tanpa setahumu.

Taman belakang rumah sakit itu adalah tempat menangis favoritku. Tentu, Bu, tak enak benar menangis di dalam lift atau di pojokan tangga. Orang-orang tentu akan melihatku. Dan jika aku menangis di sana selama aku menangis di taman, barangkali salah seorang akan memanggil satpam. "Pak Satpam, ada wong edian gembeng di dalam lift."

Apapun bisa terjadi ketika seseorang dalam pengaruh bius total, termasuk kemungkinan terburuk. Itu yang kupikir selama 2 jam menunggumu dioperasi. Lalu, bagaimana hidup kami, aku dan anak kita, jika tanpamu? Aku ketakutan betul oleh bayangan itu. Dan aku menangis.

Sesuatu telah terjadi. Itu saja yang berkelebat di otakku ketika aku melihat adik perempuan kita menangis di samping pintu kamar tempat kita menginap selama 3 malam itu. Tubuhku seolah mengalir begitu saja di lorong depan kamar. Sampai kemudian aku menemukan kau terbaring di ranjang dan berteriak histeris sambil menangis. "Nek ganas tenan piye?"

Sesadarmu usai operasi, kau mendengar salah seorang perawat bilang ke perawat yang lain bahwa tumor yang barusan diambil dokter dari payudara kananmu adalah ganas, kau bercerita. Dan kau yakin benar bahwa kau tak salah dengar. Tapi, Bu, itu bisa saja halusinasimu karena pengaruh obat bius, aku berusaha menghiburmu sekaligus menghibur diriku sendiri.

Aku masih berkata demikian sampai 3 hari kemudian, sekalipun sorenya aku ke ruang jaga perawat dan meminta hasil test patologi dengan agak memaksa. Dan benar, ganas. Kanker. Kendati grade terendah, yang artinya penyebarannya lambat, tetaplah kanker. Lagi-lagi aku terbayang hidup tanpamu. Dan aku menangis lagi di taman. Lama.

Ya, Bu, aku berbohong dan baru mengaku sekarang. Tentu itu kulakukan demi bangunan mentalmu. Sampai kemudian hari Senin, dokter memberitahu kita bahwa itu memang ganas.

Tentu, Bu, kau ketakutan. Aku paham dan kupikir itu wajar. Aku tak bisa lagi berbohong tentu saja. Satu-satunya jalan adalah mencari jalan kesembuhan.

Kita kemudian belajar dari orang-orang yang telah sembuh lewat internet, buku-buku, dan cerita para kenalan. Banyak orang yang telah sembuh dan kau akan menjadi salah satunya. Kuncinya adalah pola hidup. Makanan sehat, gerak tubuh dan olah pikiran. Dan aku kagum betul dengan kedisiplinanmu hingga sekarang. Kagum pula dengan keberanianmu hingga setahun ini kau bertahan.

Sekali lagi kukatakan, Bu, kau adalah orang yang patut sepanggung dengan para pemberani di sepanjang peradaban bumi ini. Jauh sebelum mengenalku, kau telah melalui badai-badai hidup yang, telah membuat banyak orang terjengkang, dengan berani. Dan setahun ini kau memimpin kami, aku dan anak kita, menghadapi badai yang, sempat menggoyang perahu yang kita tumpangi, juga dengan berani.

Lihatlah sekarang, Bu, perahu kita telah bergerak mapan. Air berombak tenang. Angis tipis berembus. Sejuk. Cuaca cerah. Kita bergerak maju. Lautan di depan masih membentang. Kita mendayung sambil bercanda dan bercerita, sekaligus sambil menyuntuki kesunyian masing-masing. Dan lihatlah, Bu, anak kita mulai menggambar rupa perahu serta peta pelayaran mandirinya kelak. Di pulau terdepan kita akan membantunya mencari kayu.

READ MORE - Badai Itu

Blogroll

Blogger templates

 

Most Reading

Diberdayakan oleh Blogger.