Pages

Blogger news

Kakus Mbah Nem

Pandangan saya edarkan. Saya memang bisa kencing di bawah pohon. Tapi luas kebun belakang rumah Mbah Nem itu tak seberapa dan rumah para tetangga juga terlalu berdekatan. Jika saya nekat dan mendadak muncul seseorang dari salah satu rumah, anu saya bisa-bisa terlihat. Tak ada pilihan, terpaksa saya kencing di kakus itu.

Kencing saya kali ini terburu-buru. Begitu lunas, saya segera melesat ke luar kakus.

Siang itu, saya dan istri saya pijat di rumah Mbah Nem. Mbah Nem adalah dukun pijat langganan istri saya. Rumah kayunya yang menghadap selatan terletak di sebuah kelurahan di bagian selatan kota.

Saya dipijat duluan. Barangkali karena terlalu sepuh, atau karena sudah lelah, pijatan perempuan itu tak terasa di tubuh saya. Durasinya juga tak lama, sekitar sejam, hanya separo durasi dukun pijat lain yang pernah memijat saya. Pendeknya, saya kecewa.

Tetapi kalau dipikir-pikir lagi, saya harusnya bersyukur hanya sejam dipijat. Sebab selama pemijatan, kuping saya disumpali omongan-omongan besar Mbah Nem: Pak Wali yang menjadi pelanggannya; Pak DPR yang sembuh dari kecetit karena tangannya; Pak Gubernur yang.... Siapapun yang bercerita, entah benar atau hanya membual, saya tak peduli cerita-cerita semacam itu. Malas.

Usai pemijatan saya. Saya kecewa sekaligus lega. Giliran istri saya.

Sembari merokok dan minum teh suguhan Mbah Nem, saya menunggu di beranda depan. Saat itulah saya mulai merasa kebelet kencing. Teringat nasihat bahwa menahan kencing tak baik bagi ginjal, saya masuk lagi ke dalam rumah demi bertanya kepada Mbah Nem di manakah saya bisa kencing.

Berdasar petunjuk Mbah Nem, saya keluar lagi lewat pintu depan. Berbelok ke timur lalu ke utara, menuju belakang rumah Mbah Nem.

Kian ke utara tercium bau tak sedap. Saya menduga bau itu berasal dari kandang sapi yang terletak di bagian belakang rumah.

Tapi bau itu mencapai puncaknya saat saya tiba di kakus.

Kakus itu terpisah dari rumah utama. Berdinding sambungan lembaran-lembaran karung plastik berwarna putih yang diikat ke tiang kayu di tiap sudutnya. Hanya ada tiga sisi dinding: timur, barat, dan utara. Sisi selatan dibiarkan terbuka. Sedada saya tingginya. Tongkrongannya berupa parit sedalam sejengkal dan selebar selangkah, yang disemen sekenanya, membujur dari selatan ke bagian utara yang lebih rendah. Dari bagian bawah dinding yang sudah berlubang sebesar piring, tampak bahwa parit itu berakhir di sebuah galian di luar sana.

Penasaran, saya menunda kencing. Melongokkan kepala saya ke sebalik dinding bagian utara tersebut. Tampaklah di bawah sana galian sedalam setengah meter. Di dalam galian itu, lebih dekat dinding kakus, teronggok gundukan. Bagian bawah gundukan itu serupa lumpur, hitam dan basah. Kian ke atas, warna gundukan kian coklat. Tanpa mendulitpun saya tahu benar bahwa itu gundukan tahi manusia.

Memang, tiap pagi saya melihat tahi saya sendiri meluncur ke dasar kloset kakus rumah saya. Tapi baru kali ini saya melihat gundukan tahi manusia sebanyak itu. Bukan tahi saya pula. Wajar kiranya jika saya merasakan teror.

Yang kemudian juga mengganggu saya adalah kejadian itu di tahun 2013. Artinya, usia republik sudah 58 tahun. Lalu, kemana saja pemerintah, terutama departemen kesehatan, selama ini? Jangan-jangan hanya sibuk kampanye antirokok. Dan ajaibnya lagi, kelurahan yang bersangkutan sempat juga menjadi juara kebersihan di kota kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogroll

Blogger templates

 

Most Reading

Diberdayakan oleh Blogger.