Pages

Blogger news

Bapak dan Televisi

Dulu, ketika televisi swasta hanya bisa dilihat lewat antena parabola, bapak menolak keras saat saya dan adik saya merengek agar rumah kami menyalur parabola milik tetangga jauh kami. Alasannya, bapak tak mau kami lupa belajar karena kebanyakan nonton tayangan di televisi. Tayangan-tayangan yang konon juga bisa merusak moral kami.

Lalu, ketika stasiun televisi swasta mulai nyantol di antena UHF dan antena UHF dapat dibeli murah di toko-toko elektronik, bapak tetap bersikeras tak mau memasangnya di rumah. Alasannya masih sama mengganggu belajar dan bahkan bisa merusak moral kami.

Maka selama berbulan-bulan televisi di rumah kami hanya dicantoli satu buah tayangan televisi: dari TVRI. Selama itu pula saya dan adik saya hanya kemecer mendengar cerita teman-teman kami soal si manusia cerdik dan beruntung Mac Gyver atau mobil ajaib Knight Rider.

Sampai akhirnya ibu saya nekad membeli antena UHF dan mengundang tukang pasang antena. Barangkali ibu saya tak tega anak-anaknya saban sore merengek soal tayangan televisi swasta. Atau ibu juga kepengin menonton tayangan-tayangan televisi swasta yang ia dengar dari kawan-kawannya di pasar, saya tidak tahu. Yang jelas, saya dan adik saya dapat menonton film-film yang kami idam-idamkan. Masalah selesai, pikir saya waktu itu.

Tentu saja, setelah rumah kami terpasang siaran stasiun televisi swasta, bapak tak lantas menonton tayangan-tayangan dari stasiun televisi tersebut. Bapak hanya kadang-kadang saja menonton televisi. Di waktu senggangnya ia lebih banyak menukang, bertani di belakang rumah, atau membaca buku-buku yang pengarangnya baru saya kenal ketika saya sudah mulai dewasa. Termasuk buku-buku yang diharamkan penguasa saat itu, orde baru. Dan kalaupun menonton televisi, hanyalah acara-acara di TVRI, itupun sebatas ketoprak, wayang, sepakbola,  dan berita. Di kepala saya, ada satu kata yang saya anggap mewakili bapak: kuno. 

Memiliki bapak kuno tentu saja saya tak pernah berharap diajak bapak ke bioskop untuk menonton Saur Sepuh ataupun Rambo. Tak mungkin pula bapak pulang kerja sembari menyangking komik untuk saya. Dan tentu tak bakal ada Sega atau Nitendo. Diam-diam saya iri kepada teman-teman yang memiliki bapak yang lebih modern. Diam-diam pula saya merasa dendam kepada bapak.

Di sisi lain, saya memendam rasa kagum kepada bapak. Rasa kagum yang kian saya dewasa kian menguat mengikis rasa dendam tadi. Bapak selalu menukang batu atau kayu dengan hasil yang bagus dan rapi. Bapak menanam sendiri tetumbuhan yang hasilnya kami nikmati. Bapak dapat memperbaiki sendiri mesin diesel pabrik tahu kami. Bapak membaca buku-buku yang isinya tak saya pahami hingga kini. Bapak juga berani nyemplung sumur demi mengambil kucing yang terjun bebas ke dalamnya. Bapak selalu berbuat jujur sekalipun diiming-imingi uang sogokan seplastik besar di saat keluarga kami sesungguhnya hidup sangat pas-pasan. 

Tetapi satu-dua tahun belakangan bapak berubah. Bapak memang masih bertani, tapi tak seperti dulu. Sekarang jarang sekali. Bapak juga masih membaca buku, tapi setahu saya tak pernah habis sampai halaman terakhir. 

Bapak kini lebih banyak menonton televisi. Tayangan apapun bapak tonton. Dari joget-joget sampai sinetron. Dari kuis hingga gosip artis. Dari FTV sampai iklan panjang pengobatan alternatif yang konon manjur untuk ribuan jenis penyakit atapun iklan benda-benda impor di stasiun televisi yang kekurangan acara. Dan itu dilakukan bapak nyaris setiap waktu.

Saya sempat jengkel dengan aktivitasnya tersebut. Kadang saking jengkelnya, saya berkomentar nyinyir terhadap acara televisi yang sedang bapak tonton. Saya juga pernah nggerundel kepada istri dan beberapa kawan dekat saya, bahwa saya merasa kehilangan bapak yang saya kagumi. "Bapakku wis ora cerdas," demikian gerundelan saya kepada mereka. 

Namun belakangan saya menyesal pernah berkata demikian. Barangkali, di usianya yang menua, bapak sudah malas berpikir dan beraktivitas berat. Barangkali televisi memang kawan yang setia di masa pensiunnya. Barangkali sekarang hanya televisilah yang sanggup membuatnya merasa bahagia. Dan toh acara televisi yang pernah saya anggap mutu, berita misalnya, tak lain juga drama. Tak lebih baik dibanding gosip artis dan sinetron.

Karenanya saya sekarang membiarkan bapak klekaran sembari menonton Tukang Bubur Naik Haji. Membiarkan bapak tersihir oleh pendar-pendar cahaya dari kotak bernama televisi. Dan berharap semoga bapak selalu bahagia hingga memiliki tubuh sehat dan berumur panjang. Sekalipun itu didapatnya dari benda yang kini tak begitu saya sukai: televisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogroll

Blogger templates

 

Most Reading

Diberdayakan oleh Blogger.