Pages

Blogger news

Sekolah dan Pertanyaan-pertanyaan yang Tak Seberapa

Halaman parkir itu seolah tak mampu menampung lagi. Penuh oleh motor. Berhimpit. Rapi. Di tembok, papan nama lembaga dan aneka rupa spanduk berdesakan. Menawarkan jalan sukses menembus ujian semesteran, ujian nasional, dan tentu SMPTN.

Pemandangan serupa itu ada di tiga bangunan yang berdampingan. Nyaris persis. Hanya berbeda di nama lembaganya saja. Berada tepat di seberang salah satu SMA terbaik di kota saya, Salatiga.

Saya membayangkan, anak-anak berdesakan di kelas-kelas ketiga bangunan tersebut. Mendengarkan ocehan para mentor yang bertubi-tubi tentang trik-trik maut menyelesaikan soal ujian. Sesekali tawa anak-anak berderai. Para mentor itu, orang-orang yang ulung membuat anak-anak tak cepat bosan. Mereka
lihai menyelipkan humor atau kalimat-kalimat motivasi yang dijumput dari televisi di sela trik-trik dahsyat mereka. Tentu seraya terus berdoa di dalam hati. Semoga anak-anak banyak yang lulus ujian nanti, agar kelas-kelas selalu penuh seperti ini, hingga honor pun bisa terus dibawa pulang.

Di tempat lain, di teras sebuah rumah mewah yang masih bau semen basah, anak-anak bercanda sembari menunggu guru mereka yang sedang mandi. Sesudah mandi, Bu Guru berjanji les segera dimulai. Sore ini, kali kedua anak-anak bertemu dengan Bu Guru. Tadi pagi sudah, di sekolah.

Anak-anak duduk rapi di garasi yang disulap serupa kelas. Meja dan kursi lipat ditata. Buku-buku risalah ujian tahun-tahun sebelumnya bergelimpangan di meja. Di depan, Bu Guru sabar membahas satu-persatu soal ujian. Handuk masih membungkus rambutnya yang basah.

Malam ini saya tiba-tiba mengingatnya. Saya jadi bertanya-tanya: lalu, apa guna sekolah? Apa guna sekolah jika sekadar untuk menyelesaikan ujian saja dibutuhkan lembaga-lembaga bimbingan belajar dan les-lesan
sambilan para guru? Padahal ujian-ujian tersebut juga diselenggaran di sekolah. Lalu apa gunanya tiap hari bangun pagi, nyumpel di sela lautan kendaraan, lalu duduk di kelas, sambil setengah bosan setengah deg-degan kalau-kalau melakukan kesalahan hingga dikasih hukuman, mendengarkan para guru mengajar?

Saya pernah bersekolah. Duapuluh tahun saya bersekolah. Lebih dari separuh usia saya saat ini saya habiskan di sekolah. Berbagai mata pelajaran sudah diajarkan guru-guru saya. Ratusan ujian sudah saya garap. Dan sekarang, saya sudah berumahtangga. Telah merasakan susahnya hidup sesungguhnya. Dan sulitnya soal ujian, saya rasakan tak sesusah hidup sebenarnya. Hidup sesungguhnya jauh lebih kompleks dibanding sekadar soal ujian. Hidup sesungguhnya tak ada pilihan ganda. Tak ada ujian remidi atau susulan. Juga tak bisa diulang.

Memang, saya mencari nafkah tidak sesuai dengan apa yang saya pelajari saat kuliah. Saya hanya pedagang kecil di sebuah pasar di pinggiran Kabupaten Semarang. Apa yang saya lakoni tak ada hubungannya dengan
kuliah saya. Jadi, saya tak berhak berkata bahwa ilmu yang saya dapat selama kuliah sama sekali tak berguna. Barangkali, hanya teman-teman yang bekerja di perusahaan-perusahaan yang sesuai dengan keilmuan kamilah yang dapat menjawabnya. Eh tapi, saya teringat perkataan senior-senior saya ketika kuliah
yang ketika itu sudah bekerja: bahwa dunia kerja sama sekali berbeda dengan yang kami pelajari di kuliah, kami harus belajar lagi. Jika benar demikian, apa gunanya kami susah-susah kuliah bertahun-tahun menghabiskan uang puluhan juta rupiah? Demi selembar ijazah? Barangkali ya.

Dulu, terutama sesudah lulus kuliah lalu menganggur, saya sepakat dengan pernyataan bahwa sekolah tidak sekadar demi mendapatkan pekerjaan. Tapi sekolah adalah untuk mencetak pribadi-pribadi yang unggul.
Manusia-manusia mulia. Orang-orang bijak, kritis, kreatif, berkarakter, bermental baja pejal, para calon pemimpin bagi orang-orang di sekitarnya. Tetapi sekarang, saya mulai mempertanyakannya. Dan saya mulai curiga bahwa kesepakatan saya tersebut hanyalah sekadar pelipur lara karena saya tak kunjung memperoleh
kerja.

Sekarang saya bertemu orang-orang yang heterogen. Tak melulu kawan-kawan sekolah saya yang cenderung dari kelas sosial sama. Saya bergaul dengan orang-orang tua yang sekadar membaca pun masih mengeja. Saya bertemu dengan anak-anak muda yang putus sekolah lalu memutuskan atau terpaksa nyemplung bekerja. Dan nilai-nilai yang konon dihasilkan di sekolah juga saya ditemukan di mereka. Saya bertemu orang-orang tua yang bijak meski buta huruf. Saya bertemu pemuda-pemuda putus sekolah yang pekerja keras yang tahan pecah ketika dibanting. Saya bertemu anak-anak muda yang ‘cuma’ lulusan SMA yang cerdas dan kreatif. Saya juga temui watak-watak pemimpin di antara mereka. Dan, jika tingkatan sekolah berbanding lurus dengan nilai-nilai mulia tadi, kenapa orang-orang yang bertitel berderet-deret seperti pagar itu menjadi maling, pengambil keputusan yang buruk, pembohong, dan masih pula bermental
inlander?

Saya juga bertemu sarjana-sarjana yang masih bau bangku kuliahan. Dandanannya keren. Omongannya bercampur-baur dengan bahasa asing. Sesekali juga mengutip kalimat-kalimat dahsyat dari orang-orang hebat. Eh tapi, mereka mencari-cari jalan belakang ketika ada lowongan pekerjaan. Merengek-rengek
kepada orang tua mereka untuk menjual tanah warisan ketika ada orang yang menawari jalan mudah berseragam pegawai negeri.  Dan ketika ditanya hal-hal mendasar tentang salah satu pokok bahasan yang bersinggungan dengan jurusan kuliah mereka, mereka gelagepan. Jujur saja, saya termasuk yang terakhir ini. Saya sarjana elektro yang tak tahu apa-apa tentang elektro. Saya tak tahu fungsi resistor dalam arus dan tegangan. Saya tak tahu ceritanya bagaimana logika “1” dan “0” berkembang menjadi perangkat digital canggih seperti smartphone yang sedang anda pegang.

Sampai di sini, saya kian mbateg berpikir tentang guna sekolah. Saya juga teringat anak saya yang tak sampai 2 tahun lagi memasuki usia taman kanak-kanak. Apakah saya tak akan menyekolahkannya lalu mengajaknya bermain-main di pabrik tahu ibu saya, lain waktu saya mengajaknya ke pasar, lain waktu lagi saya menitipkannya ke ibu mertua saya agar diajari bertani di desa sana? Lalu sesekali saya mengajarinya
membaca dan beritung sekadarnya. Kalau ia sudah mahir membaca, saya biarkan ia memilih dan membaca buku-buku saya. Kalau ternyata ia tak suka, saya antar ia ke toko buku atau perpustakaan. Kalau ia memang tak suka baca buku ya sudah, saya tak akan memaksa.

Tidak. Saya tidak akan sanggup seperti itu. Saya hanya orang biasa yang tak berani melawan mitos-mitos besar. Paling banter saya nggrundel dengan menulis catatan kecil seperti ini. Untuk anak saya, paling-paling saya hanya akan mencarikan sekolah yang relatif santai, sokur-sokur yang membolehkan mempelajari apa yang ia suka saja sambil klekaran atau main-main. Tentu, saya tak akan memaksanya ikut les ini-itu. Dan ketika ia akan mengikuti ujian nasional misalnya, saya hanya akan berbisik, “Nak, santai saja, hidupmu tak ditentukan oleh ujian nasional, melainkan oleh olah pikir serta polah tangan dan kakimu sendiri. Dan hidupmu, jauh lebih panjang daripada sekadar jumlah soal ujian nasional.”
READ MORE - Sekolah dan Pertanyaan-pertanyaan yang Tak Seberapa

Kita adalah Angka-angka


Saya nyaris lupa bahwa kelingking saya masih ungu. Saya juga nyaris lupa bahwa kemarin pagi saya baru saja mencoblos kartu suara pemilu. Hari ini saya momong anak seperti biasa. Bekerja seperti biasa. Sesekali saja teringat bahwa kemarin saya baru saja memberikan satu suara. Sesekali saja teringat ketika saya membuka salah satu situs berita online. Selebihnya lupa.

Pagi tadi saya juga nyaris lupa bahwa di hari-hari sebelum kemarin, saya menjadi saksi hingar bingar usaha perebutan suara. Saya nyaris lupa bahwa saya pernah terlibat perdebatan dengan tetangga perihal caleg ini caleg itu pernah menawarkan ini-itu. Pagi tadi, saya bangun agak kesiangan. Minum kopi bikinan istri saya, eek sambil melamun, lalu bermain dengan anak saya. Itu saja.

Jika anda bukan pengurus atau caleg partai, bukan pegawai KPU, bukan wartawan yang sedang bertugas meliput pemilu, barangkali nyaris sama dengan saya. Anda bangun pagi lalu misuh “Asu wis esuk,” lalu minum secangkir kopi, eek, sarapan, dan nyemplung ke jalanan hingga kuyup oleh karbon monoksida. Nyaris sama dengan kemarin. Rutin. Hampir lupa bahwa kemarin pemilu. Sesekali teringat ketika melihat dan mendengar kabar yang berkelebat. Selebihnya lupa.

Sementara itu, di pusat kekuasaan sana, Jakarta, hingar bingar masih berlanjut. Hitung cepat dipantau. Persentase dan angka-angka dianalisa.  Evaluasi dan rencana. Lobi-lobi dan tawar menawar.  Pertemuan-pertemuan rahasia. Kasak-kusuk. Kesepakatan-kesepakatan. Rancangan-rancangan. Kemungkinan-kemungkinan sekaligus ketidamungkinan-ketidakmungkinan.

Bagi kita, orang-orang biasa ini, itu adalah dunia yang jauh. Berjarak. Kita tidak terlibat tetapi sesungguhnya kita ada di sana. Kita tidak mendengar tetapi sesunggguhnya kita sedang diperbincangkan. Kita ada di dalam rencana-rencana dan kemungkinan-kemungkinan.  Kita sedang dibicarakan tapi tidak sedang diajak bicara. Sebab kita telah menjadi angka-angka.

Maka jangan heran jika nanti partai yang anda jagokan dan pilih kemarin, ujug-ujug berkoalisi dengan partai yang anda benci.  Ideologi? Barangkali saat ini masih ada, tapi kemungkinan besar tidak. Juga jangan kaget
jika capres yang anda idolakan tiba-tiba menjadi cawapres dari capres yang gambarnya pernah anda ludahi. Dan jangan marah jika caleg yang kemarin anda coblos kelak tak pernah mengajak anda bicara.

Ah, siapa pula yang akan mengajak bicara angka-angka?  Barangkali hanya penggemar kode buntut dan orang gila. (10 April 2014)
READ MORE - Kita adalah Angka-angka

Blogroll

Blogger templates

 

Most Reading

Diberdayakan oleh Blogger.