Pages

Blogger news

Badai Itu

Pagi tadi kau bangun gasik sekali, Bu. Sama seperti setahun yang lalu. Bedanya, pagi tadi kau menyiapi bekal untuk kita pergi berenang. Sedangkan setahun lalu, bekal kita untuk operasimu.

Siang tadi pipiku basah. Setahun yang lalu pun demikian. Bedanya, siang tadi oleh air segar kolam renang. Sedangkan setahun lalu oleh air mataku. Ya, Bu, aku menangis. Berkali-kali malah. Tanpa setahumu.

Taman belakang rumah sakit itu adalah tempat menangis favoritku. Tentu, Bu, tak enak benar menangis di dalam lift atau di pojokan tangga. Orang-orang tentu akan melihatku. Dan jika aku menangis di sana selama aku menangis di taman, barangkali salah seorang akan memanggil satpam. "Pak Satpam, ada wong edian gembeng di dalam lift."

Apapun bisa terjadi ketika seseorang dalam pengaruh bius total, termasuk kemungkinan terburuk. Itu yang kupikir selama 2 jam menunggumu dioperasi. Lalu, bagaimana hidup kami, aku dan anak kita, jika tanpamu? Aku ketakutan betul oleh bayangan itu. Dan aku menangis.

Sesuatu telah terjadi. Itu saja yang berkelebat di otakku ketika aku melihat adik perempuan kita menangis di samping pintu kamar tempat kita menginap selama 3 malam itu. Tubuhku seolah mengalir begitu saja di lorong depan kamar. Sampai kemudian aku menemukan kau terbaring di ranjang dan berteriak histeris sambil menangis. "Nek ganas tenan piye?"

Sesadarmu usai operasi, kau mendengar salah seorang perawat bilang ke perawat yang lain bahwa tumor yang barusan diambil dokter dari payudara kananmu adalah ganas, kau bercerita. Dan kau yakin benar bahwa kau tak salah dengar. Tapi, Bu, itu bisa saja halusinasimu karena pengaruh obat bius, aku berusaha menghiburmu sekaligus menghibur diriku sendiri.

Aku masih berkata demikian sampai 3 hari kemudian, sekalipun sorenya aku ke ruang jaga perawat dan meminta hasil test patologi dengan agak memaksa. Dan benar, ganas. Kanker. Kendati grade terendah, yang artinya penyebarannya lambat, tetaplah kanker. Lagi-lagi aku terbayang hidup tanpamu. Dan aku menangis lagi di taman. Lama.

Ya, Bu, aku berbohong dan baru mengaku sekarang. Tentu itu kulakukan demi bangunan mentalmu. Sampai kemudian hari Senin, dokter memberitahu kita bahwa itu memang ganas.

Tentu, Bu, kau ketakutan. Aku paham dan kupikir itu wajar. Aku tak bisa lagi berbohong tentu saja. Satu-satunya jalan adalah mencari jalan kesembuhan.

Kita kemudian belajar dari orang-orang yang telah sembuh lewat internet, buku-buku, dan cerita para kenalan. Banyak orang yang telah sembuh dan kau akan menjadi salah satunya. Kuncinya adalah pola hidup. Makanan sehat, gerak tubuh dan olah pikiran. Dan aku kagum betul dengan kedisiplinanmu hingga sekarang. Kagum pula dengan keberanianmu hingga setahun ini kau bertahan.

Sekali lagi kukatakan, Bu, kau adalah orang yang patut sepanggung dengan para pemberani di sepanjang peradaban bumi ini. Jauh sebelum mengenalku, kau telah melalui badai-badai hidup yang, telah membuat banyak orang terjengkang, dengan berani. Dan setahun ini kau memimpin kami, aku dan anak kita, menghadapi badai yang, sempat menggoyang perahu yang kita tumpangi, juga dengan berani.

Lihatlah sekarang, Bu, perahu kita telah bergerak mapan. Air berombak tenang. Angis tipis berembus. Sejuk. Cuaca cerah. Kita bergerak maju. Lautan di depan masih membentang. Kita mendayung sambil bercanda dan bercerita, sekaligus sambil menyuntuki kesunyian masing-masing. Dan lihatlah, Bu, anak kita mulai menggambar rupa perahu serta peta pelayaran mandirinya kelak. Di pulau terdepan kita akan membantunya mencari kayu.

READ MORE - Badai Itu

Ucapan Cetak Masal

Apem yang dibikin ibu untuk serumah tentu lebih enak dibanding yang dibikin ibu untuk satu kampung. Pun demikian dengan ucapan Lebaran. Ucapan yang personal menurut saya lebih ada rasanya dibanding yang cetak masal.

Sejak jamannya handphone berlayar monokrom sampai sekarang gambar di handphone seolah nyata meski sesungguhnya hanya dobol-dobolan belaka, tiap Lebaran selalu saja mbludak ucapan cetak masal. Saking derasnya, kalau tidak ada pelampung barangkali saya sudah tenggelam.

Ucapan yang saya maksud adalah yang diketik sekali lalu dikirim ke banyak penerima, gambar yang diunduh atau dibikin sendiri lalu dikirim ke banyak orang.

Isinya macam-macam tapi sesungguhnya serupa. Minta maaf dan mengucapkan selamat Lebaran. Titik. Tetapi kalau mau contoh, baiklah saya tuliskan: "Bedug telah digebuki, mercon telah dibledoskan. Selamat Idul Fitri, segala kesalahan mohon dimaafkan!"

Sedangkan yang personal, yang saya maksud adalah yang seperti ini: "Ndes, aku kelingan kowe tau kaliren sedino mergo indomi ning lemari kamar kostmu mbiyen ilang. Riyaya iki aku ngaku nek sing nyolong aku. Tulung dingapura babagan kuwi lan babagan liyane. Bali ra? Isih seneng lemper?" Dan tentu yang ini dikirim khusuzon buat si Gondes.

Nah, sekarang bandingkan lebih berasa yang mana? Kalau anda bukan pembantai berantai nan bengis yang sama sekali tak punya rasa romantis saya pikir akan milih yang ke dua.

Eh tetapi, kalau dipikir-pikir lagi sepertinya kok capek juga ngirimi tiap orang dengan ucapan yang khusus bin personal. Toh belum tentu yang dikirimi, si Gondes misalnya, merasakan seperti yang kita rasakan. Toh bukankah Lebaran memang kolamnya salaman dan ha-ha hi-hi, liangnya segala basa-basi?

Nah, sampai di sini saya malah curiga, jangan-jangan minta maaf kita tiap Lebaran sebenarnya cuma basa-basi. Jangan-jangan segala yang kita lakukan saat Lebaran tak lebih hanya karena ingin ngumumi. Jangan-jangan andaikata tak ada Lebaran, kita tak pernah minta maaf dan saling mengunjungi. Jangan-jangan lho ya.. Sekali lagi, jangan-jangan.. Dan kalau pun salah mohon dimaafkan. Mumpung Lebaran.


READ MORE - Ucapan Cetak Masal

Preman Lebaran

Menjelang Lebaran begini, ada saja orang yang mengitar pasar, komplek perkantoran, atau pertokoan. Mereka mengaku dari organisasi atau perkumpulan tertentu, atau mendaku mewakili warga sebuah kampung. Biasanya mereka menyangking lembaran kertas bertabel yang isinya daftar pemberi sumbangan. Pendeknya, mereka meminta uang. Karena ini Lebaran, maka istilahnya minta THR.

Beberapa Lebaran belakangan ini, setelah saya nyemplung bakulan di pasar, saya kena berkali-kali.

Awalnya saya tak terima, merasa harga diri saya diusik. Bukan teman, saudara, atau pegawai saya, bukan pula orang yang pantas diberi bantuan, kok enak-enak minta uang. Koplok yo tenan...

Tapi belakangan saya berusaha ikhlas. Kolom saya isi, uang saya beri, malah masih saya tomboki senyuman. Saya rela sekalipun saya tahu benar, setelah kios sepasar mereka datangi, mereka lalu mojok dan menggelar berbotol-botol minuman keras. Pesta besar.

Dengan malu-malu saya akui di masa lalu, saat saya masih pemuda unyu-unyu bernalar cekak, langsung atau tidak langsung saya sering terlibat dalam perbuatan menjijikkan semacam itu. Malah daftarnya lebih panjang: Lebaran, tahun baru, 17 agustusan. Uangnya tentu saja kami pakai pula untuk mabuk-mabukan.

Tetapi kini saya sadar bahwa perbuatan, baik atau buruk, pasti akan memperoleh balasan, cepat atau lambat, dengan jalan serupa atau sama sekali berbeda. Nah, karena saya pernah menjadi bagian para peminta-minta, saya pikir sudah sewajarnya gantian saya yang diminta-minta. Hukum alam.

Kalau anda mengalami hal serupa, saran saya beri saja. Sekalipun anda merasa tak pernah melakukan perbuatan serupa, siapa tahu anda pernah mengambil hak orang lain lewat cara berbeda, mengambil laba dagangan terlalu besar atau memark-up dana panitia 17-an lalu memakai uangnya untuk makan-makan dengan sesama panitia misalnya.

Tetapi kalau anda sungguh suci merasa tak pernah mengambil yang bukan milik anda sama sekali, anggap saja peristiwa demikian adalah jalan Tuhan meninggikan derajat anda, menambah jalan pahala anda. Soal uangnya dipakai untuk mabuk-mabukan, itu sudah bukan urusan anda. Itu urusan mereka dengan Tuhan. Toh tak ada salahnya sekali-kali membahagiakan orang yang tidak kita kenal.

Dan barangkali nanti atau besok, Lebaran tahun depan atau entah kapan, orang-orang semacam itu akan mengetuk toko, kantor, atau rumah anda. Sekali lagi, saran saya, letakkanlah pentungan, siapkan uang dan hati lapang. Selamat berderma!

READ MORE - Preman Lebaran

Kakus Mbah Nem

Pandangan saya edarkan. Saya memang bisa kencing di bawah pohon. Tapi luas kebun belakang rumah Mbah Nem itu tak seberapa dan rumah para tetangga juga terlalu berdekatan. Jika saya nekat dan mendadak muncul seseorang dari salah satu rumah, anu saya bisa-bisa terlihat. Tak ada pilihan, terpaksa saya kencing di kakus itu.

Kencing saya kali ini terburu-buru. Begitu lunas, saya segera melesat ke luar kakus.

Siang itu, saya dan istri saya pijat di rumah Mbah Nem. Mbah Nem adalah dukun pijat langganan istri saya. Rumah kayunya yang menghadap selatan terletak di sebuah kelurahan di bagian selatan kota.

Saya dipijat duluan. Barangkali karena terlalu sepuh, atau karena sudah lelah, pijatan perempuan itu tak terasa di tubuh saya. Durasinya juga tak lama, sekitar sejam, hanya separo durasi dukun pijat lain yang pernah memijat saya. Pendeknya, saya kecewa.

Tetapi kalau dipikir-pikir lagi, saya harusnya bersyukur hanya sejam dipijat. Sebab selama pemijatan, kuping saya disumpali omongan-omongan besar Mbah Nem: Pak Wali yang menjadi pelanggannya; Pak DPR yang sembuh dari kecetit karena tangannya; Pak Gubernur yang.... Siapapun yang bercerita, entah benar atau hanya membual, saya tak peduli cerita-cerita semacam itu. Malas.

Usai pemijatan saya. Saya kecewa sekaligus lega. Giliran istri saya.

Sembari merokok dan minum teh suguhan Mbah Nem, saya menunggu di beranda depan. Saat itulah saya mulai merasa kebelet kencing. Teringat nasihat bahwa menahan kencing tak baik bagi ginjal, saya masuk lagi ke dalam rumah demi bertanya kepada Mbah Nem di manakah saya bisa kencing.

Berdasar petunjuk Mbah Nem, saya keluar lagi lewat pintu depan. Berbelok ke timur lalu ke utara, menuju belakang rumah Mbah Nem.

Kian ke utara tercium bau tak sedap. Saya menduga bau itu berasal dari kandang sapi yang terletak di bagian belakang rumah.

Tapi bau itu mencapai puncaknya saat saya tiba di kakus.

Kakus itu terpisah dari rumah utama. Berdinding sambungan lembaran-lembaran karung plastik berwarna putih yang diikat ke tiang kayu di tiap sudutnya. Hanya ada tiga sisi dinding: timur, barat, dan utara. Sisi selatan dibiarkan terbuka. Sedada saya tingginya. Tongkrongannya berupa parit sedalam sejengkal dan selebar selangkah, yang disemen sekenanya, membujur dari selatan ke bagian utara yang lebih rendah. Dari bagian bawah dinding yang sudah berlubang sebesar piring, tampak bahwa parit itu berakhir di sebuah galian di luar sana.

Penasaran, saya menunda kencing. Melongokkan kepala saya ke sebalik dinding bagian utara tersebut. Tampaklah di bawah sana galian sedalam setengah meter. Di dalam galian itu, lebih dekat dinding kakus, teronggok gundukan. Bagian bawah gundukan itu serupa lumpur, hitam dan basah. Kian ke atas, warna gundukan kian coklat. Tanpa mendulitpun saya tahu benar bahwa itu gundukan tahi manusia.

Memang, tiap pagi saya melihat tahi saya sendiri meluncur ke dasar kloset kakus rumah saya. Tapi baru kali ini saya melihat gundukan tahi manusia sebanyak itu. Bukan tahi saya pula. Wajar kiranya jika saya merasakan teror.

Yang kemudian juga mengganggu saya adalah kejadian itu di tahun 2013. Artinya, usia republik sudah 58 tahun. Lalu, kemana saja pemerintah, terutama departemen kesehatan, selama ini? Jangan-jangan hanya sibuk kampanye antirokok. Dan ajaibnya lagi, kelurahan yang bersangkutan sempat juga menjadi juara kebersihan di kota kami.

READ MORE - Kakus Mbah Nem

SIM yang Tertukar

Barangkali kau akan merasa begitu sial. Ketika matahari sedang terik, kau bersepedamotor di sebuah kota asing dan tak kunjung menemukan pom bensin padahal kau sedang kebelet kencing. Pergerakanmu masih pula dihadangi oleh sebuah truk tua, yang seperti tak pernah bergerak ke mana-mana sejak jalan yang sedang kalian lalui itu lahir. Dan truk itu terus mengentutkan asapnya yang hitam dan sengak. Momen itu pun malah diselesaikan oleh beberapa orang polisi mengarahkanmu masuk ke satu pelataran. Kesialan yang diputus oleh kesialan lain.

Orang-orang bersepedamotor mengantri di pelataran kantor entah apa itu. Kau juga, terpaksa tentu saja, sambil terus menahan agar kantung kemihmu tidak meledak.

Tepat di depanmu seorang perempuan berjilbab tampaknya barusan selesai kulakan di pasar. Bronjong di kanan-kiri Honda Grandnya berjejalan belanjaan. Rentengan ciki 500-an dan kacang atom dan permen karet dan kerupuk kijang, bertoples-toples permen, mie instant, kopi sasetan. Kau masih sempat iseng mengamati. Tak ada bir dan kondom.

Seorang demi seorang diperiksa. Tentu perkara SIM dan STNK. Bukan BPKB. Kalau BPKB tentu kau tak setenang sekarang: cuma mengawatirkan kantung kemihmu yang siap mbludak. Sebab aku tahu BPKB Yamaha Mio yang kau tunggangi baru akan jadi milikmu setelah 15 kali cicilan lagi. Itupun kalau tak keburu lari ke pegadaian.

Giliran perempuan di depanmu. Kau menunggu sembari memendam rasa ingin tahu, yang rencananya baru akan kau tanyakan kepada si polisi setelah ia tuntas urusannya denganmu: Adakah WC di sini? Kalau tak ada, pispot atau sebuah pohon besar juga jadi. Dan yang penting lagi ada air barang sedikit buat mencuci si anu biar kelak luput dari siksa kubur.

"Siang, Bu!" basa-basi si polisi kepada si perempuan setelah basa-basi yang pertama: menghormat. "Bisa lihat SIM dan STNK?"

Perempuan berjilbab merogoh tas di pinggangnya, mengangsurkan selembar kertas panjang berwarna putih kekuningan dan bersampul plastik. Tampak betul itu STNK.

STNK diterima si polisi yang lantas menengoknya sebentar lalu gantian menengok plat nomor. Mestinya pas. "Kalau SIMnya mana?"

Sang perempuan merogoh tas pinggangnya lagi lalu mengangsurkan selembar kartu.

"SIM, Bu. SIM. Ini KTP."

"Oh... Lha bentuknya sekarang sama," si perempuan membela diri lantas merogoh tasnya kembali, dan mengulurkan kartu yang lain.

Si polisi menerima lalu mengamati kartu terakhir. Tampaknya benar SIM. Tapi kok keningnya lantas berkerut? "Lha kok fotonya kumisan?"

"Suami saya, Pak.." sahut si perempuan.

Sialnya lagi, perempuan itu ternyata istrimu.

READ MORE - SIM yang Tertukar

Kutil

Jikalau Tuan dan Nyonya, Bung dan Nona, merasa risih dengan kutil bandel yang hinggap di kulit Tuan dan Nyonya, Bung dan Nona, jangan merasa cilaka sampai bermuram durja begitu rupa.

Tak perlu pula kiranya Tuan dan Nyonya, Bung dan Nona membeli plester pencabut kutil di apotek, membayar ongkos dokter bedah atawa dokter plastik. Sebab yang Tuan dan Nyonya, Bung dan Nona, butuhkan sesungguhnya sepele sahaja. Bawang putih, Tuan dan Nyonya, Bung dan Nona. Ya, bawang putih bumbu masak itu.

Tuan dan Nyonya, Bung dan Nona, hanya perlu pergi sebentar ke dapur ketika batur mengulek bumbu demi tempe atawa tahu goreng. Cukup dulitkan ujung jari Tuan dan Nyonya, Bung dan Nona, ke remukan bawang putih lalu oleskan ke kutil yang nakal itu. Ulangi beberapa hari. Niscaya kutil bandel itu lindap dengan sigra dan kulit Tuan dan Nyonya, Bung dan Nona, menjadi mulus lagi serupa batu akik habis digosok.

Pabila kelak saran sahaya manjur, Tuan dan Nyonya, Bung dan Nona, tiada perlu mengirim telegram, kartu pos, wesel, atawa bingkisan berupa selembar piring cantik. Cukup Tuan dan Nyonya, Bung dan Nona, panjatkan rasa syukur dan jikalau berkenan mengirimkan doa agar sahaya dan keluarga senantiasa sehat sentosa dan panjang umur.

Demikian nasihat pendek dan sepele sahaya. Selamat mencoba dan semoga berhasil!

Tabik

Tabib Mogol Pengembara Rimba Raya Beton Kota

READ MORE - Kutil

SIM dan STNK Ketinggalan

Kalau tidak malu, Yhonas sudah njoget di depan kawan-kawannya. Barusan cewek incerannya mengirim BBM menyepakati ajakan Yhonas untuk makan bareng. Besok jam 4 sore di warung makan Mas Widhi yang enaknya terkenal sampai lubang-lubang  jangkrik.

Besoknya, sepulang sekolah, Yhonas langsung bablas ke kamar mandi. Jegar-jegur air sampai habis 5 bak, tapi lupa sabunan. Sehabis itu masuk kamar demi dandan. 3 botol minyak wangi yang aromanya beda-beda, 2 cepuk minyak rambut (1 miliknya dan 1-nya lagi milik bapaknya), 1 botol besar lotion yang baru dipakai sedikit (ditengarai hanya dipakai tiap ia habis nonton film oh yes oh no oh my God) habis dipakai siang itu.

Tak terasa hampir 2 jam ia berdandan. Waktu sudah jam 4 kurang seperempat.

Yhonas kaget. Waktu tinggal 15 menit. Maka njrantallah dia keluar rumah sampai lupa bawa dompet dan apesnya lagi salah nyamber sandal: yang kanan milik bapaknya sedangkan yang kiri milik ibunya.

Yhonas baru sadar dompetnya ketinggalan dan ia salah sandal ketika sampai perempatan terminal Tingkir. Tapi dasar anak orang kaya, di celana jeansnya ternyata ada uang 400 ribu. Pecahan 100 ribuan di tiap kantongnya. Ternyata nyebar uang di semua kantong celana berguna, pikir Yhonas. Cukup untuk beli sandal dulu. Soal makan, kalau uang kurang nanti bisa utang dulu ke Mas Widhi yang baiknya seperti dewa itu. Dan soal SIM dan STNK asal tak ada cegatan, aman.

Sadar waktu tipis, Yhonas nggeblas dengan Satria F-nya yang masih kinyis-kinyis sekempling cewek incerannya. Bangjo terminal Tingkir meski lampu merah disikatnya. Aman, tak ada pulisi mengejar. Bangjo garasi Safari meski menyala merah juga dilibas. Aman juga. Bangjo ABC yang juga dibabatnya. Tapi apes, Pak Pulisi kali ini mengejar.

Demi cewek incerannya yang cantik meski tak secantik istri Mas Widhi itu, Yhonas tak peduli klaksonan dan teriakan Pak Pulisi. Sampai akhirnya Pak Pulisi berhasil memepetnya di depan RS Puri Asih. Terpaksa Yhonas menyerah, menepi.

"Sore, Pak," kata Pak Pulisi sambil menahan tawa setelah melihat sandal yang dipakai Yhonas.

Pak matamu, batin Yhonas.

"Tahu salah Anda, Pak?" tanya Pak Pulisi lagi sambil menutupi lubang hidungnya demi mengurangi serbuan bau wangi nan aneh dari tubuh Yhonas.

Pak matamu semplak, batin Yhonas sebelum menjawab, "Nganu, Pak... Nganu..."

"Malah nganu nganu, nganu kuwi suk nek wis rabi."

" Nganu..."

"Nganu lagi. Hayo, salahmu apa?"

"Nganu, lupa bawa sim dan es te en ka."

Pak Pulisi mengernyitkan dahi. Yhonas malah ndomblong.
READ MORE - SIM dan STNK Ketinggalan

Anak Saya, Sepeda, dan Mbak Berbaju Hitam

Tengah siang tadi, ketika saya sedang ngobrol dengan salah seorang teman, masuk sms dari istri saya yang memberitahukan bahwa anak kami mendadak mahir naik sepeda. Sepeda roda dua.

Saya kaget, senang, sekaligus menyesal.

Kaget karena sebelumnya, saya menilai anak saya terlalu penakut ketika belajar mengendalikan sepeda. Ia memang meminta saya mencopot dua roda kecil pengaman di kanan kiri sepeda. Tapi dibanding bermain dengan mainan-mainannya yang lain, frekuensinya belajar sepeda sangat jarang. Dan ketika saya menemaninya belajar sepeda ia terlalu sering berteriak-teriak minta dipegangi. Tak jarang saya jengkel dan berprasangka ia akan telat naik sepeda.

Saya menyesal karena tak dapat menemaninya melalui detik-detik penting pencapaiannya tersebut. Karena kebetulan saya sedang berada di rumah orang tua saya sedangkan anak dan istri saya di rumah ibu mertua saya. Saya juga menyesal karena terlalu ceroboh menilainya penakut.

Sepulangnya sang teman, saya segera ke pasar, demi berbelanja sayur-mayur dan hadiah kecil untuk anak saya. Buah kesukaannya ketika bukan musimnya mangga: anggur. Di hari-hari lain, biasanya saya atau istri saya hanya membelikannya seperempat kilo. Kali ini saya beli setengah kilo. Demi peristiwa besar dalam keluarga kecil kami.

Tuntas urusan pasar, motor saya gelindingkan menuju rumah ibu mertua saya.
***
Dan benar, di bagian barat rumah ibu mertua saya, yakni rumah joglo yang cukup untuk satu lapangan badminton itu, anak saya memang lancar mengendalikan kendaraan pertamanya tersebut. Ia mengayuh pedal, berbelok, berputar-putar mengelilingi tiang-tiang  joglo, sambil tengak-tengok bangga ke arah saya dan berteriak-teriak girang. Mahir. Seperti bocah 6 tahun yang sudah selama setahun menaklukkan sepeda.

Sampai malam ia bersepeda. Hanya berjeda mandi sore dan mengejar mbak berbaju hitam. Tanpa tidur siang.
***
Menjelang maghrib mendadak anak saya menghentikan sepedanya. Meminta saya mengikutinya. Saya manut, mengekor. Kaki-kaki mungilnya tergopoh-gopoh menuju gudang, yang berada di bagian timur-belakang rumah. Gudang itu membentuk huruf L, dari utara ke selatan lalu menuju barat.

Di muka pintu gudang anak saya berhenti, meminta saya membukakan pintu. Saya menurutinya, penasaran maunya.
Begitu pintu terbuka, anak saya menunjuk sudut utara gudang sambil berkata bahwa ada mbak berbaju hitam. Tak ada siapa-siapa di sana. Kosong. Masih kata anak saya, mbak baju hitam kemudian berjalan ke arah selatan gudang dan berhenti. Anak saya diam, khusyuk memandangi arah selatan. Tak lama ia lantas mengajak saya keluar. Pintu tak boleh ditutup. Kira-kira 5 langkah anak saya berhenti, balik lagi ke arah pintu. Diam lagi, memandang titik yang tadi. Ia berkata bahwa mbak baju hitam meminta kami keluar. Mbak baju hitam sedang tak mau diganggu.

Meski belum pernah memasukinya, tetapi saya tahu benar bahwa di bagian barat gudang tadi ada kamar tempat menyimpan benda-benda yang konon keramat milik almarhum bapak mertua saya yang memang penganut Islam abangan.

Barangkali mbak baju hitam tadi ada hubungannya dengan benda-benda tersebut atau hanya lelembut yang sedang lewat. Barangkali juga bukan. Mungkin itu hanya permainan peran dunia kanak-kanak anak saya. Atau mungkin juga itu hanya halusinasinya karena ia terlalu lelah bersepeda dan tidak tidur siang sebagaimana biasanya. Saya di wilayah abu-abu dalam hal semacam itu. Ada atau tidak ada, tidak penting bagi saya. Percaya sekaligus tidak percaya.

Tetapi saya percaya benar bahwa kelak anak saya akan berkali-kali melampaui pencapaian-pencapaian saya. Sampai sekarang, setidaknya ia sudah 3 kali melakukannya. Ia lebih gasik berbicara dan berjalan dibanding saya dulu. Dan yang kali ke-3 ini adalah soal menaklukkan sepeda. Saya di usia 6 tahun, di liburan panjang selepas lulus TK dulu. Sedangkan dia di usia 3,5 tahun.
READ MORE - Anak Saya, Sepeda, dan Mbak Berbaju Hitam

Agar Sebelum Mati, Kita Masih Sempat Menonton Timnas Sepakbola Indonesia Bertarung di Piala Dunia

Menilai sepakbola Indonesia bukan perkara sulit. Tak perlu njlimet-njlimet buka statuta FIFA dan PSSI. Kalau masih ada kabar pemain atau pelatih belum digaji (hingga terpaksa ngamen atau bahkan meninggal dunia karena tak kuat membayar biaya berobat), wasit dipukuli,  politisasi, tawuran antar pemain atau suporter, suap dan mafia judi dan sepakbola gajah, timnas yang kalahan, klub yang punya kembaran, pasti sepakbola Indonesia masih berjalan ngawur. Pasti.

Saya pernah menjadi penonton setia Liga Indonesia. Dulu, saya berpendapat bahwa jika bukan kita yang menonton siapa lagi?  Tetapi setelah saya mendengar kabar-kabar buruk tentang sepakbola baik lewat media maupun mendengar langsung dari para pemain (kebetulan kampung saya berimpitan dengan sebuah pusdiklat sepakbola jadi kami sering mendengar kabar dari mulut alumni pusdiklat tersebut), terutama tentang suap dan match fixing, saya kemudian emoh menonton. Tak sudi. Itu sudah bukan sepakbola. Sebab kemenangan dan kekalahan tak lagi ditentukan di atas lapangan, melainkan oleh slintat-slintut amplop, koneksi dengan petinggi, dan telepon-telepon gelap bandar judi.


Dan itu berlangsung bertahun-tahun, seolah itu semua memang sudah kutukan yang tak bisa dibantah. Berganti pemerintahan, berganti pengurus PSSI, berganti Menpora, berganti generasi pemain, kabar-kabar miring tersebut tak pernah berhenti.

Baru kemudian di pemerintahan Jokowi, melalui Menpora Imam Nahrawi aroma perubahan mulai sedikit menguar. Lumayan ngitik-ngitik hidung. Sepakbola Indonesia masih ada harapan. 

Menpora memulai dengan memasang syarat-syarat yang sesungguhnya tak begitu kencang bagi peserta kompetisi profesional. Syarat-syarat yang sesungguhnya juga diwajibkan AFC, FIFA, dan PSSI. Syarat-syarat yang selama ini dikangkangi, baik oleh klub peserta kompetisi maupun oleh PSSI sendiri.

Tetapi masih saja ada yang tak sanggup memenuhi syarat-syarat tersebut. Dan bukan hal baru jika kemudian PSSI membela klub-klub itu.

Cerita detilnya bisa anda runut di media. Saya malas menuliskannya kembali. Intinya, sebagaimana biasa PSSI ngeyel dan melakukan berbagai macam manuver. Barangkali Menpora jengkel, sebab negara sudah tak dianggap oleh PSSI. Dan akhirnya PSSI dibekukan.

Bukan PSSI namanya jika lantas manut. Manuver terus digencarkan, paling baru mereka menghentikan kompetisi dengan alasan dibuat-buat lalu membuat kesan bahwa itu karena pemerintah. Penggerakan massa yang dibodohi (atau juga dibayar?). Penggalangan opini. Ancaman-ancaman.

Ancaman itu di antaranya adalah dengan dihentikannya kompetisi, maka akan ada ribuan orang yang hidup dari sepakbola akan nganggur. Pemain, pelatih, tukang pijat, tukang cabut rumput stadion, calo karcis, para penjual kaos akan kelaparan.

Ancaman yang lain dan yang paling sering diembuskan adalah bila pemerintah mengintervensi PSSI maka sepakbola Indonesia akan dihukum FIFA. Sepakbola Indonesia tak akan dapat bermain di pertandingan-pertandingan internasional.

Lha terus kenapa?

Perihal kemungkinan menganggurnya orang-orang yang hidup dari sepakbola. Pertama, bukankah yang menghentikan kompetisi adalah PSSI sendiri? Bukankah PSSI sendiri yang selama ini membiarkan kompetisi berjalan buruk hingga pemain dan pelatih tidak digaji? Bukankah sesungguhnya pemain dan pelatih adalah pemegang posisi tawar paling tinggi dalam urusan ini? Suruh dong PSSI kerja benar lalu memulai lagi kompetisi. Kedua, jika PSSI ngeyel lagi tak mau memutar kompetisi, ya ajak dong Menpora membuat kompetisi baru. Kompetisi yang lebih sehat, jelas aturan mainnya, transparan keuangannya, dan dikelola oleh operator yang benar-benar andal. Dan kalau perlu bikin federasi baru. Tinggalkan PSSI yang ngeyelan dan seenaknya sendiri itu.

Sepakbola Indonesia tak dapat bermain di kancah internasional tak masalah. Apakah timnas Indonesia adalah juara Asia 5 kali dan juara Piala Dunia 3 kali? Apakah klub-klub Indonesia bergiliran menjuarai Piala Champion Asia? Lha tidak kan? Lalu, apa ruginya?

Sanksi FIFA juga bukan hal yang nggegirisi. Indonesia, dengan jumlah penduduknya yang gemar nendang dan nonton sepakbola, yang besar tentu merupakan pasar yang menggiurkan bagi industri sepakbola dunia. FIFA tentu akan mikir 157 kali putaran bumi jika hendak menghukum Indonesia. Dan kalaupun benar-benar dihukum, kalau kita mampu menjalankan federasi dan kompetisi yang benar-benar sehat, pasti FIFA akan bribik-bribik mengajak kita balikan. Percayalah.

Dan jika sepakbola Indonesia diurus oleh federasi waras yang memiliki kompetisi yang sehat pasti akan menghasilkan timnas yang tangguh, yang hanya dalam hitungan puluhan tahun akan mampu menembus Piala Dunia. Sebaliknya jika masih diurus oleh federasi semacam PSSI yang sekarang ini, maka akan membutuhkan waktu berabad-abad untuk hadir di Piala Dunia. Itupun karena ketika itu, penduduk di dunia ini sudah bosan dengan sepakbola, kecuali Indonesia dan Djibouti. Akhirnya Piala Dunia hanya diikuti oleh dua negara: Indonesia dan Djibouti. Langsung final. Apesnya kita masih kalah, 4-0.

Untuk menyaksikan peristiwa langka itu tentu kita membutuhkan keajaiban. Mengingat harapan hidup orang Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan tahun 2014 hanyalah 72 tahun. Bukan 5 abad. Maka satu-satunya jalan agar sebelum mati kita masih sempat menonton timnas Indonesia bertarung di Piala Dunia hanyalah dengan federasi yang waras dan kompetisi yang sehat. Hanya itu.
READ MORE - Agar Sebelum Mati, Kita Masih Sempat Menonton Timnas Sepakbola Indonesia Bertarung di Piala Dunia

Bapak dan Televisi

Dulu, ketika televisi swasta hanya bisa dilihat lewat antena parabola, bapak menolak keras saat saya dan adik saya merengek agar rumah kami menyalur parabola milik tetangga jauh kami. Alasannya, bapak tak mau kami lupa belajar karena kebanyakan nonton tayangan di televisi. Tayangan-tayangan yang konon juga bisa merusak moral kami.

Lalu, ketika stasiun televisi swasta mulai nyantol di antena UHF dan antena UHF dapat dibeli murah di toko-toko elektronik, bapak tetap bersikeras tak mau memasangnya di rumah. Alasannya masih sama mengganggu belajar dan bahkan bisa merusak moral kami.

Maka selama berbulan-bulan televisi di rumah kami hanya dicantoli satu buah tayangan televisi: dari TVRI. Selama itu pula saya dan adik saya hanya kemecer mendengar cerita teman-teman kami soal si manusia cerdik dan beruntung Mac Gyver atau mobil ajaib Knight Rider.

Sampai akhirnya ibu saya nekad membeli antena UHF dan mengundang tukang pasang antena. Barangkali ibu saya tak tega anak-anaknya saban sore merengek soal tayangan televisi swasta. Atau ibu juga kepengin menonton tayangan-tayangan televisi swasta yang ia dengar dari kawan-kawannya di pasar, saya tidak tahu. Yang jelas, saya dan adik saya dapat menonton film-film yang kami idam-idamkan. Masalah selesai, pikir saya waktu itu.

Tentu saja, setelah rumah kami terpasang siaran stasiun televisi swasta, bapak tak lantas menonton tayangan-tayangan dari stasiun televisi tersebut. Bapak hanya kadang-kadang saja menonton televisi. Di waktu senggangnya ia lebih banyak menukang, bertani di belakang rumah, atau membaca buku-buku yang pengarangnya baru saya kenal ketika saya sudah mulai dewasa. Termasuk buku-buku yang diharamkan penguasa saat itu, orde baru. Dan kalaupun menonton televisi, hanyalah acara-acara di TVRI, itupun sebatas ketoprak, wayang, sepakbola,  dan berita. Di kepala saya, ada satu kata yang saya anggap mewakili bapak: kuno. 

Memiliki bapak kuno tentu saja saya tak pernah berharap diajak bapak ke bioskop untuk menonton Saur Sepuh ataupun Rambo. Tak mungkin pula bapak pulang kerja sembari menyangking komik untuk saya. Dan tentu tak bakal ada Sega atau Nitendo. Diam-diam saya iri kepada teman-teman yang memiliki bapak yang lebih modern. Diam-diam pula saya merasa dendam kepada bapak.

Di sisi lain, saya memendam rasa kagum kepada bapak. Rasa kagum yang kian saya dewasa kian menguat mengikis rasa dendam tadi. Bapak selalu menukang batu atau kayu dengan hasil yang bagus dan rapi. Bapak menanam sendiri tetumbuhan yang hasilnya kami nikmati. Bapak dapat memperbaiki sendiri mesin diesel pabrik tahu kami. Bapak membaca buku-buku yang isinya tak saya pahami hingga kini. Bapak juga berani nyemplung sumur demi mengambil kucing yang terjun bebas ke dalamnya. Bapak selalu berbuat jujur sekalipun diiming-imingi uang sogokan seplastik besar di saat keluarga kami sesungguhnya hidup sangat pas-pasan. 

Tetapi satu-dua tahun belakangan bapak berubah. Bapak memang masih bertani, tapi tak seperti dulu. Sekarang jarang sekali. Bapak juga masih membaca buku, tapi setahu saya tak pernah habis sampai halaman terakhir. 

Bapak kini lebih banyak menonton televisi. Tayangan apapun bapak tonton. Dari joget-joget sampai sinetron. Dari kuis hingga gosip artis. Dari FTV sampai iklan panjang pengobatan alternatif yang konon manjur untuk ribuan jenis penyakit atapun iklan benda-benda impor di stasiun televisi yang kekurangan acara. Dan itu dilakukan bapak nyaris setiap waktu.

Saya sempat jengkel dengan aktivitasnya tersebut. Kadang saking jengkelnya, saya berkomentar nyinyir terhadap acara televisi yang sedang bapak tonton. Saya juga pernah nggerundel kepada istri dan beberapa kawan dekat saya, bahwa saya merasa kehilangan bapak yang saya kagumi. "Bapakku wis ora cerdas," demikian gerundelan saya kepada mereka. 

Namun belakangan saya menyesal pernah berkata demikian. Barangkali, di usianya yang menua, bapak sudah malas berpikir dan beraktivitas berat. Barangkali televisi memang kawan yang setia di masa pensiunnya. Barangkali sekarang hanya televisilah yang sanggup membuatnya merasa bahagia. Dan toh acara televisi yang pernah saya anggap mutu, berita misalnya, tak lain juga drama. Tak lebih baik dibanding gosip artis dan sinetron.

Karenanya saya sekarang membiarkan bapak klekaran sembari menonton Tukang Bubur Naik Haji. Membiarkan bapak tersihir oleh pendar-pendar cahaya dari kotak bernama televisi. Dan berharap semoga bapak selalu bahagia hingga memiliki tubuh sehat dan berumur panjang. Sekalipun itu didapatnya dari benda yang kini tak begitu saya sukai: televisi.
READ MORE - Bapak dan Televisi

Sekolah dan Pertanyaan-pertanyaan yang Tak Seberapa

Halaman parkir itu seolah tak mampu menampung lagi. Penuh oleh motor. Berhimpit. Rapi. Di tembok, papan nama lembaga dan aneka rupa spanduk berdesakan. Menawarkan jalan sukses menembus ujian semesteran, ujian nasional, dan tentu SMPTN.

Pemandangan serupa itu ada di tiga bangunan yang berdampingan. Nyaris persis. Hanya berbeda di nama lembaganya saja. Berada tepat di seberang salah satu SMA terbaik di kota saya, Salatiga.

Saya membayangkan, anak-anak berdesakan di kelas-kelas ketiga bangunan tersebut. Mendengarkan ocehan para mentor yang bertubi-tubi tentang trik-trik maut menyelesaikan soal ujian. Sesekali tawa anak-anak berderai. Para mentor itu, orang-orang yang ulung membuat anak-anak tak cepat bosan. Mereka
lihai menyelipkan humor atau kalimat-kalimat motivasi yang dijumput dari televisi di sela trik-trik dahsyat mereka. Tentu seraya terus berdoa di dalam hati. Semoga anak-anak banyak yang lulus ujian nanti, agar kelas-kelas selalu penuh seperti ini, hingga honor pun bisa terus dibawa pulang.

Di tempat lain, di teras sebuah rumah mewah yang masih bau semen basah, anak-anak bercanda sembari menunggu guru mereka yang sedang mandi. Sesudah mandi, Bu Guru berjanji les segera dimulai. Sore ini, kali kedua anak-anak bertemu dengan Bu Guru. Tadi pagi sudah, di sekolah.

Anak-anak duduk rapi di garasi yang disulap serupa kelas. Meja dan kursi lipat ditata. Buku-buku risalah ujian tahun-tahun sebelumnya bergelimpangan di meja. Di depan, Bu Guru sabar membahas satu-persatu soal ujian. Handuk masih membungkus rambutnya yang basah.

Malam ini saya tiba-tiba mengingatnya. Saya jadi bertanya-tanya: lalu, apa guna sekolah? Apa guna sekolah jika sekadar untuk menyelesaikan ujian saja dibutuhkan lembaga-lembaga bimbingan belajar dan les-lesan
sambilan para guru? Padahal ujian-ujian tersebut juga diselenggaran di sekolah. Lalu apa gunanya tiap hari bangun pagi, nyumpel di sela lautan kendaraan, lalu duduk di kelas, sambil setengah bosan setengah deg-degan kalau-kalau melakukan kesalahan hingga dikasih hukuman, mendengarkan para guru mengajar?

Saya pernah bersekolah. Duapuluh tahun saya bersekolah. Lebih dari separuh usia saya saat ini saya habiskan di sekolah. Berbagai mata pelajaran sudah diajarkan guru-guru saya. Ratusan ujian sudah saya garap. Dan sekarang, saya sudah berumahtangga. Telah merasakan susahnya hidup sesungguhnya. Dan sulitnya soal ujian, saya rasakan tak sesusah hidup sebenarnya. Hidup sesungguhnya jauh lebih kompleks dibanding sekadar soal ujian. Hidup sesungguhnya tak ada pilihan ganda. Tak ada ujian remidi atau susulan. Juga tak bisa diulang.

Memang, saya mencari nafkah tidak sesuai dengan apa yang saya pelajari saat kuliah. Saya hanya pedagang kecil di sebuah pasar di pinggiran Kabupaten Semarang. Apa yang saya lakoni tak ada hubungannya dengan
kuliah saya. Jadi, saya tak berhak berkata bahwa ilmu yang saya dapat selama kuliah sama sekali tak berguna. Barangkali, hanya teman-teman yang bekerja di perusahaan-perusahaan yang sesuai dengan keilmuan kamilah yang dapat menjawabnya. Eh tapi, saya teringat perkataan senior-senior saya ketika kuliah
yang ketika itu sudah bekerja: bahwa dunia kerja sama sekali berbeda dengan yang kami pelajari di kuliah, kami harus belajar lagi. Jika benar demikian, apa gunanya kami susah-susah kuliah bertahun-tahun menghabiskan uang puluhan juta rupiah? Demi selembar ijazah? Barangkali ya.

Dulu, terutama sesudah lulus kuliah lalu menganggur, saya sepakat dengan pernyataan bahwa sekolah tidak sekadar demi mendapatkan pekerjaan. Tapi sekolah adalah untuk mencetak pribadi-pribadi yang unggul.
Manusia-manusia mulia. Orang-orang bijak, kritis, kreatif, berkarakter, bermental baja pejal, para calon pemimpin bagi orang-orang di sekitarnya. Tetapi sekarang, saya mulai mempertanyakannya. Dan saya mulai curiga bahwa kesepakatan saya tersebut hanyalah sekadar pelipur lara karena saya tak kunjung memperoleh
kerja.

Sekarang saya bertemu orang-orang yang heterogen. Tak melulu kawan-kawan sekolah saya yang cenderung dari kelas sosial sama. Saya bergaul dengan orang-orang tua yang sekadar membaca pun masih mengeja. Saya bertemu dengan anak-anak muda yang putus sekolah lalu memutuskan atau terpaksa nyemplung bekerja. Dan nilai-nilai yang konon dihasilkan di sekolah juga saya ditemukan di mereka. Saya bertemu orang-orang tua yang bijak meski buta huruf. Saya bertemu pemuda-pemuda putus sekolah yang pekerja keras yang tahan pecah ketika dibanting. Saya bertemu anak-anak muda yang ‘cuma’ lulusan SMA yang cerdas dan kreatif. Saya juga temui watak-watak pemimpin di antara mereka. Dan, jika tingkatan sekolah berbanding lurus dengan nilai-nilai mulia tadi, kenapa orang-orang yang bertitel berderet-deret seperti pagar itu menjadi maling, pengambil keputusan yang buruk, pembohong, dan masih pula bermental
inlander?

Saya juga bertemu sarjana-sarjana yang masih bau bangku kuliahan. Dandanannya keren. Omongannya bercampur-baur dengan bahasa asing. Sesekali juga mengutip kalimat-kalimat dahsyat dari orang-orang hebat. Eh tapi, mereka mencari-cari jalan belakang ketika ada lowongan pekerjaan. Merengek-rengek
kepada orang tua mereka untuk menjual tanah warisan ketika ada orang yang menawari jalan mudah berseragam pegawai negeri.  Dan ketika ditanya hal-hal mendasar tentang salah satu pokok bahasan yang bersinggungan dengan jurusan kuliah mereka, mereka gelagepan. Jujur saja, saya termasuk yang terakhir ini. Saya sarjana elektro yang tak tahu apa-apa tentang elektro. Saya tak tahu fungsi resistor dalam arus dan tegangan. Saya tak tahu ceritanya bagaimana logika “1” dan “0” berkembang menjadi perangkat digital canggih seperti smartphone yang sedang anda pegang.

Sampai di sini, saya kian mbateg berpikir tentang guna sekolah. Saya juga teringat anak saya yang tak sampai 2 tahun lagi memasuki usia taman kanak-kanak. Apakah saya tak akan menyekolahkannya lalu mengajaknya bermain-main di pabrik tahu ibu saya, lain waktu saya mengajaknya ke pasar, lain waktu lagi saya menitipkannya ke ibu mertua saya agar diajari bertani di desa sana? Lalu sesekali saya mengajarinya
membaca dan beritung sekadarnya. Kalau ia sudah mahir membaca, saya biarkan ia memilih dan membaca buku-buku saya. Kalau ternyata ia tak suka, saya antar ia ke toko buku atau perpustakaan. Kalau ia memang tak suka baca buku ya sudah, saya tak akan memaksa.

Tidak. Saya tidak akan sanggup seperti itu. Saya hanya orang biasa yang tak berani melawan mitos-mitos besar. Paling banter saya nggrundel dengan menulis catatan kecil seperti ini. Untuk anak saya, paling-paling saya hanya akan mencarikan sekolah yang relatif santai, sokur-sokur yang membolehkan mempelajari apa yang ia suka saja sambil klekaran atau main-main. Tentu, saya tak akan memaksanya ikut les ini-itu. Dan ketika ia akan mengikuti ujian nasional misalnya, saya hanya akan berbisik, “Nak, santai saja, hidupmu tak ditentukan oleh ujian nasional, melainkan oleh olah pikir serta polah tangan dan kakimu sendiri. Dan hidupmu, jauh lebih panjang daripada sekadar jumlah soal ujian nasional.”
READ MORE - Sekolah dan Pertanyaan-pertanyaan yang Tak Seberapa

Kita adalah Angka-angka


Saya nyaris lupa bahwa kelingking saya masih ungu. Saya juga nyaris lupa bahwa kemarin pagi saya baru saja mencoblos kartu suara pemilu. Hari ini saya momong anak seperti biasa. Bekerja seperti biasa. Sesekali saja teringat bahwa kemarin saya baru saja memberikan satu suara. Sesekali saja teringat ketika saya membuka salah satu situs berita online. Selebihnya lupa.

Pagi tadi saya juga nyaris lupa bahwa di hari-hari sebelum kemarin, saya menjadi saksi hingar bingar usaha perebutan suara. Saya nyaris lupa bahwa saya pernah terlibat perdebatan dengan tetangga perihal caleg ini caleg itu pernah menawarkan ini-itu. Pagi tadi, saya bangun agak kesiangan. Minum kopi bikinan istri saya, eek sambil melamun, lalu bermain dengan anak saya. Itu saja.

Jika anda bukan pengurus atau caleg partai, bukan pegawai KPU, bukan wartawan yang sedang bertugas meliput pemilu, barangkali nyaris sama dengan saya. Anda bangun pagi lalu misuh “Asu wis esuk,” lalu minum secangkir kopi, eek, sarapan, dan nyemplung ke jalanan hingga kuyup oleh karbon monoksida. Nyaris sama dengan kemarin. Rutin. Hampir lupa bahwa kemarin pemilu. Sesekali teringat ketika melihat dan mendengar kabar yang berkelebat. Selebihnya lupa.

Sementara itu, di pusat kekuasaan sana, Jakarta, hingar bingar masih berlanjut. Hitung cepat dipantau. Persentase dan angka-angka dianalisa.  Evaluasi dan rencana. Lobi-lobi dan tawar menawar.  Pertemuan-pertemuan rahasia. Kasak-kusuk. Kesepakatan-kesepakatan. Rancangan-rancangan. Kemungkinan-kemungkinan sekaligus ketidamungkinan-ketidakmungkinan.

Bagi kita, orang-orang biasa ini, itu adalah dunia yang jauh. Berjarak. Kita tidak terlibat tetapi sesungguhnya kita ada di sana. Kita tidak mendengar tetapi sesunggguhnya kita sedang diperbincangkan. Kita ada di dalam rencana-rencana dan kemungkinan-kemungkinan.  Kita sedang dibicarakan tapi tidak sedang diajak bicara. Sebab kita telah menjadi angka-angka.

Maka jangan heran jika nanti partai yang anda jagokan dan pilih kemarin, ujug-ujug berkoalisi dengan partai yang anda benci.  Ideologi? Barangkali saat ini masih ada, tapi kemungkinan besar tidak. Juga jangan kaget
jika capres yang anda idolakan tiba-tiba menjadi cawapres dari capres yang gambarnya pernah anda ludahi. Dan jangan marah jika caleg yang kemarin anda coblos kelak tak pernah mengajak anda bicara.

Ah, siapa pula yang akan mengajak bicara angka-angka?  Barangkali hanya penggemar kode buntut dan orang gila. (10 April 2014)
READ MORE - Kita adalah Angka-angka

Blogroll

Blogger templates

 

Most Reading

Diberdayakan oleh Blogger.